✕
akkulturasa-dea
PEDAS JADI IDENTITAS?
by Dea Karina
scroll down for English and German translation
Oktober 2022: Pada bulan Oktober 2022, saya mengalami relasi yang rumit dengan makanan. Setiap setelah makan, saya merasa cemas dan pusing. Pada suatu malam, saya makan mie dan bebek goreng. Tumbuh besar di Indonesia, saya sering makan makanan ini tanpa ada reaksi, namun saya mengalami reaksi alergi parah di mana muka saya bentol-bentol dan gatal, tenggorokan saya terasa menyempit - entah karena reaksi makanan atau karena saya sangat cemas. Karena pada saat itu pukul 10:00 malam, saya coba mencari tetangga yang masih bangun namun tidak ada yang menyaut. Saya panik dan langsung minum 2x antihistamin (obat anti alergi) dan menelepon teman dekat saya untuk menjaga saya di malam hari.
Keesokan harinya, saya tidak bisa tidur. Saya tinggal di daerah Lichtenberg dan ke rumah sakit sendirian di dekat rumah. Karena saya belum bisa Bahasa Jerman, saya tanya resepsionis apakah bisa Bahasa Inggris. Mereka jawab “tidak” dengan nada judes. Mereka pun tidak ingin menjembatani komunikasi - mereka bisa juga memanggil kolega yang berbahasa Inggris ataupun buka Google Translate, padahal ini rumah sakit di negara maju. Perasaan saya pada saat itu sudah panik dan sangat takut kalau tiba-tiba saya tidak bisa nafas. Saya tidak ada energi untuk berdebat, jadi saya ke rumah sakit selanjutnya. Juga dijawab “tidak”. Lalu saya menangis karena merasa sangat tidak aman berada di Berlin/Jerman dengan kondisi kesehatan seperti ini.
Saya ambil cuti beberapa hari setelah ini dan mendapat rekomendasi dokter yang bisa berbahasa Inggris dari bos saya. Di dokter tersebut saya disuruh untuk mencoba diet “histamine intolerance”.
Beberapa minggu saya coba, dan makanan-makanan yang histamine tinggi harus dihindari, seperti cabe, tomat, alpukat, dan beberapa makanan yang menurut orang awam sehat tapi harus saya hindari. Setelah beberapa hari mencoba, saya sadar bahwa kalau mengikuti diet ini 100%, saya akan malnutrisi. Saya pun juga coba beberapa makanan dengan histamin tinggi dan tidak apa-apa, jadi saya pun cukup skeptis bahwa diet ini akan memperbaiki isu kesehatan ini.
Kemudian saya balik ke Indonesia karena sudah pesan tiket. Di sana saya diskusi dengan orang tua dan akhirnya menjalani proses endoskopi/kolonoskopi. Ternyata saya ada kena yang namanya “Chron’s Disease” yang termasuk “Irritable Bowel Syndrome”, di mana saya sensitif dengan banyak makanan. Kata dokter, ini terbentuk karena diet saya yang Asia berubah drastis ke diet Jerman yang banyak roti (gluten) dan daging berproses (sosis, dll). Namun kata dia saya juga harus tidak banyak minum kopi ataupun makan yang pedas. Saya pun jadi mikir, pola makan Asia tapi tidak pedas? Jadi apa serunya?
Setelah itu saya harus bergelut dengan membuat makanan-makanan Asia yang tidak pedas dan gluten-free, dairy free, dan bebas bahan-bahan yang berat seperti santen. Karena ini saya menjadi sering masak dan juga kreatif, membuat banyak variasi makanan yang friendly untuk pencernaan saya.
Yang saya baca, Crohns Disease termasuk salah satu penyakit autoimun yang bisa disebabkan oleh stres dan trauma, termasuk trauma dari berpindah tempat geografis/menjadi imigran di negara lain.
Selama hidup saya telah tinggal di 5 negara. Beberapa kali pindah negara untuk mengikuti orang tua dan belajar. Di Berlin saya kerja dan kali ini saya tidak mempunyai deadline untuk pindah.
Beberapa bulan setelah diagnosis, saya sama sekali tidak makan pantangan-pantangan seperti pedas. Namun saya selalu harus bernegosiasi dengan identitas saya di mana makan pedas menjadi kebanggaan.
EN
October 2022: In October 2022, I experienced a complicated relationship with food. Every time after eating, I felt anxious and dizzy. One evening, I had noodles and fried duck. Growing up in Indonesia, I often ate this food without any reaction, but this time, I had a severe allergic reaction. My face broke out in hives, and my throat felt tight – either due to the food reaction or because I was extremely anxious. Since it was 10:00 PM, I tried to find a neighbor who was still awake, but no one responded. I panicked and immediately took two antihistamines (allergy medication) and called a close friend to stay with me overnight.
The next day, I couldn't sleep. I lived in the Lichtenberg area and went to a nearby hospital alone. Since I didn't speak German, I asked the receptionist if English would be okay. They answered "no" with a dismissive tone. They didn't want to bridge the communication gap – they could have called a colleague who spoke English or used Google Translate, even though this was a hospital in a developed country. I felt panicked and scared that I might suddenly have trouble breathing. I had no energy to argue, so I went to the next hospital. Again, the answer was "no." Then I cried because I felt very unsafe in Berlin/Germany with my health condition.
I took a few days off after this and got a recommendation from my boss to see a doctor who could speak English. At that doctor's office, I was told to try a "histamine intolerance" diet.
For several weeks, I tried to avoid high-histamine foods like chili, tomatoes, avocados, and some foods that are considered healthy by most people but were harmful to me. After a few days of trying, I realized that if I followed this diet 100%, I would become malnourished. So, I became skeptical that this diet would solve my health issues.
I then returned to Indonesia because I had already booked my ticket. There, I discussed with my parents and eventually went through an endoscopy and colonoscopy process. It turns out I have something called "Crohn's Disease," which falls under "Irritable Bowel Syndrome," where I'm sensitive to many foods. The doctor said it developed because my diet changed drastically from an Asian diet to a German one with lots of bread (gluten) and processed meat (sausages, etc.). However, he also told me to avoid drinking too much coffee or eating spicy foods. This made me think, an Asian diet without spice? Where's the fun in that?
Afterward, I had to deal with making Asian foods that were not spicy and were gluten-free, dairy-free, and free of heavy ingredients like coconut milk. Because of this, I started
cooking frequently and became creative, making many variations of dishes that were friendly to my sensitive digestion.
From what I read, Crohn's Disease is one of the autoimmune diseases that can be triggered by stress and trauma, including the trauma of moving geographically or becoming an immigrant in another country.
Throughout my life, I have lived in five different countries, moving several times to follow my parents and education. In Berlin, I worked, and this time, I didn't have a deadline to move.
A few months after the diagnosis, I completely avoided spicy foods. However, I always had to negotiate with my identity, where eating spicy food used to be a source of pride.
DE
Oktober 2022: Im Oktober 2022 hatte ich eine komplizierte Beziehung zu Essen. Nach jeder Mahlzeit fühlte ich mich ängstlich und schwindelig. An einem Abend aß ich Nudeln und gebratene Ente. Da ich in Indonesien aufgewachsen bin, aß ich diese Art von Essen oft ohne Reaktionen, aber dieses Mal hatte ich eine schwere allergische Reaktion, bei der mein Gesicht geschwollen und juckend wurde und mein Hals sich eng anfühlte - entweder aufgrund der Nahrungsmittelreaktion oder weil ich sehr besorgt war. Da es bereits 22:00 Uhr war, versuchte ich, einen wachen Nachbarn zu finden, aber niemand antwortete. Ich geriet in Panik und nahm sofort zweimal Antihistaminika (allergiehemmende Medikamente) ein und rief einen engen Freund an, um mich in der Nacht zu begleiten.
Am nächsten Tag konnte ich nicht schlafen. Ich wohnte in Lichtenberg und ging alleine in ein nahegelegenes Krankenhaus. Da ich noch kein Deutsch konnte, fragte ich die Rezeptionistin, ob sie Englisch sprechen könne. Ihre Antwort war "nein" mit einem abweisenden Ton. Sie waren nicht bereit, die Kommunikation zu erleichtern - sie hätten einen Kollegen rufen oder Google Translate verwenden können, obwohl es sich um ein Krankenhaus in einem entwickelten Land handelte. In diesem Moment fühlte ich mich bereits sehr ängstlich und hatte große Angst, plötzlich keine Luft mehr zu bekommen. Ich hatte keine Energie, um zu argumentieren, also ging ich zum nächsten Krankenhaus. Auch dort erhielt ich die Antwort "nein". Dann brach ich in Tränen aus, weil ich mich sehr unsicher fühlte, in Berlin/Deutschland mit meiner Gesundheitssituation zu sein.
Nach diesem Vorfall nahm ich einige Tage frei und erhielt eine Empfehlung von meinem Chef, zu einem Arzt zu gehen, der Englisch sprach. Bei diesem Arzt wurde mir geraten, eine "Histamin-Intoleranz"-Diät auszuprobieren.
Ich habe diese Diät einige Wochen lang versucht, bei der Lebensmittel mit hohem Histamin vermieden werden müssen, wie Paprika, Tomaten, Avocado und einige Lebensmittel, die für die meisten Menschen gesund sind, aber die ich meiden musste. Nach einigen Tagen des Ausprobierens wurde mir klar, dass ich, wenn ich diese Diät zu 100% befolge, unterernährt sein würde. Deshalb war ich skeptisch, ob diese Diät meine Gesundheitsprobleme verbessern würde, da ich einige Lebensmittel mit hohem Histamingehalt probiert und keine Probleme gehabt hatte.
Dann kehrte ich nach Indonesien zurück, weil ich bereits ein Flugticket gebucht hatte. Dort besprach ich die Situation mit meinen Eltern und unterzog mich schließlich einer Endoskopie und Koloskopie. Es stellte sich heraus, dass ich an Morbus Crohn, einer Form des Reizdarmsyndroms, leide und empfindlich auf viele Lebensmittel reagiere. Der Arzt erklärte, dass dies auf die drastische Veränderung meiner Ernährung von einer asiatischen zu einer deutschen Diät zurückzuführen sei, die reich an Brot (Gluten) und verarbeitetem Fleisch (Wurst usw.) ist. Er sagte jedoch auch, dass ich nicht zu viel Kaffee trinken oder scharfes Essen essen sollte. Das brachte mich zum Nachdenken - eine asiatische Ernährung ohne Schärfe? Wo bleibt da der Spaß?
Nach der Diagnose musste ich mich damit auseinandersetzen, asiatische Gerichte zuzubereiten, die nicht scharf waren und glutenfrei, milchfrei und frei von schweren Zutaten wie Kokosmilch waren. Dadurch begann ich häufig zu kochen und kreativ zu sein, um viele Gerichte zu entwickeln, die für meine Verdauung geeignet waren.
Ich habe gelesen, dass Morbus Crohn zu den Autoimmunerkrankungen gehört, die durch Stress und Traumata verursacht werden können, einschließlich des Traumas, in ein anderes Land zu ziehen oder Einwanderer zu sein.
Während meines Lebens habe ich in fünf verschiedenen Ländern gewohnt. Ich bin mehrmals umgezogen, um meinen Eltern zu folgen und zu lernen. In Berlin habe ich gearbeitet, und dieses Mal habe ich keinen Zeitpunkt für einen weiteren Umzug. Einige Monate nach der Diagnose habe ich überhaupt keine scharfen Speisen mehr gegessen. Aber ich musste immer noch mit meiner Identität verhandeln, da scharfes Essen eine Quelle des Stolzes für mich war.