Puisi “rasa”


scroll down for EN and DE



Puisi ini ditulis sebagai respon atas tema instalasi Akkulturasa

Puisi ini merupakan sebuah percobaan untuk mendekonstruksi bentuk pakem puisi yakni
dengan bermain dengan kata, huruf dan makna. Dengan hanya menggunakan huruf
dalam A-K-K-U-L-T-U-R-A-S-A penulis menyusun berbagai kata- kata lain (beberapa kata
lahir dari bahasa jerman dan inggris) untuk menghadirkan sebuah narasi baru. Narasi ini
pun dapat dikaitkan dengan tema/ konsep akkulturasa. Pembaca dapat memilih 1 kata
atau lebih secara acak untuk menciptakan sebuah narasi baru atau dalam hal ini
disesuaikan dengan konteks akkulturasa.

Proses dekonstruksi ini juga merupakan bagian dari proses akkultarasa itu sendiri dimana
perubahan/adaptasi menjadi sebuah keniscayaan ketika individu dan/atau budayanya
berada pada lingkungan yang baru.

Contoh 1: Kata aku-rasa-asa, dari ketiga huruf ini dapat dinarasikan begaimana perasaan
individu (dalam hal ini penulis) ketika dihadapkan pada situasi yang megharuskannya ber”
akulturasi”. Bagiamana pe-rasa-annnya, dan asa atau harapannya di lingkungan yang
baru.

Contoh 2: sakral-kakus-urat, beradaptasi dengan budaya baru membuka wawasan kita
bahwa tiap- tiap budaya memiliki perbedaan dalam menyakralkan sesuatu, hal yang bagi
budaya satu dianggap sakral mungkin bagi budaya lain tidak. Juga perbedaan kakus
jongkok dan kakus duduk. Terkadang budaya telah menjadi “urat” nadi kita sehingga kita
sulit mengubahnya. Namun apakah benar demikian?

Contoh 3: als (bahasa indonesia: daripada), dari satu kata ini saja kita dapat membangun
sebuah narasi yakni proses akulturasi yang tidak lepas dari perihal membandingkan.
Karena dalam proses akulturasi kita pasti akan menemui berbagai hal yang berbeda dari
yang kita alami sebelumnya.

Kata- kata sengaja ditulis secara acak dan tersebar, seperti konsep jamur yang bisa tumbuh secara menyebar. Kata- kata tersebut hanya menggunakan huruf dari A-K-K-U-L-
T-U-R-A-S-A juga merupakan konsep dari jamur yang memanfaatkan apa yang ada untuk lahir kembali, menjadi sesuatu yang baru. Semua huruf ditulis dengan huruf kecil karena
menurut penulis hal ini lebih indah secara estetik selain untuk melepaskan dari aturan
gramatik.

Kata- kata itu dikelompokkan dalam warna kuning, hijau, merah jambu, dan nila. Kata
berwarna kuning merupakan kata yang paling melekat di hati penulis, sehingga sengaja
diletakkan di bagian tengah lingkaran “akkulturasa”. Kata berwarna merah jambu
merupakan kata favorit kedua bagi penulis, warna hijau untuk kata yang bersifat netral
bagi penulis, dan kata berwarna nila untuk kata yang kurang disukai penulis. Ukuran huruf
juga menentukan ukuran perasaan penulis terhadap kata tersebut, misalnya huruf
berukuran besar lebih melekat di hati ketimbang kata berukuran kecil. Tentu hal ini
bersifat subjektif sebagai bagian dari ekspresi personalitas penulis.

Demikian teks pengiring ini dibuat untuk sekedar memberikan gambaran kepada
pembaca tentang konsep atau ide penulis. Namun tentu saja pembaca memiliki
kebebasan yang seluas- luasnya untuk mengartikan, merespon atau bahkan
mendekonstruksinya.

Selamat berkelana dalam huruf dan makna...




List kata dalam Puisi Rasa


Akkulturasa



Aku-

Asa-

Rasa-



Kalut-

Lusa

Ulur

Sulut

Asal

Suka-

Lara-

Tukar

Kurasa

Kata

sukar -

Sulur

Luka-

Klar

Laut

Raut

Aus

Kakus

Raus

Tau

Aus



Kaku-

Alt

Tua

Kurus-

Akku

Tular

Karsa

Ask

Salut

Urut

Alur

Urat

Suaka

Alat

Tuas

Akur

Akut



Art

Kuat-

Satu

Als

Rat

Utara

Urus

Sakral

Kultus

Utus

Luar

Akt

Rakus-

Kuasa-

Arus
/ Liste der Wörter in Rasa / 


Akkulturasa


I

Asa

Rasa



Kalut-

Der Tag danach

Abgerufen von

Nordsulawesi

Herkunft

Suka-

Lara-

Austausch

Ich denke

Wort

schwierig -

Ranken

Wunde-

Klar

Meer

Raut

Aus

Plumpsklo

Raus

Tau

Aus



Starr-

Alt

Alt

Dünn-

Akku

Tular

Karsa

Fragen Sie

Begrüßung

Sequenz

Groove

Drang

Asyl

Werkzeuge

Hebel

Akur

Akut



Kunst

Stark-

Eine

Als

Ratte

Norden

Urus

Heilig

Kult

Utus

Außerhalb

Akt

Gier-

Macht-

Aktuell

List of words in Poetry of Rasa


Akkulturasa


I

Asa

Rasa



Kalut-

The Day After

Retrieved

North Sulawesi

Origin

Suka-

Lara-

Exchange

I think

Word

difficult -

Tendrils

Wound-

Klar

Sea

Raut

Aus

Outhouse

Raus

Tau

Aus



Rigid-

Alt

Old

Skinny-

Akku

Tular

Karsa

Ask

Salute

Order

Groove

Urge

Asylum

Tools

Lever

Akur

Acute



Art

Strong-

One

Als

Rat

North

Urus

Sacred

Cult

Utus

Outside

Akt

Greedy-

Power-

Current


 EN


see the translation list of words above



This poem is written in response to the theme of "Akkulturasa" installation.

This poem is an attempt to deconstruct the conventional form of poetry by playing with words, letters, and meanings. By using only the letters in A-K-K-U-L-T-U-R-A-S-A, the author assembles various other words (some from German and English) to create a new narrative. This narrative can be related to the theme/concept of Akkulturasa. Readers can choose one or more words randomly to create a new narrative or, in this case, adapt it to the context of Akkulturasa.

This process of deconstruction is also part of the Akkulturasa process itself, where change/adaptation becomes inevitable when individuals and/or their culture are in a new environment.

Example 1: The word "aku-rasa-asa" can be narrated as the feelings of an individual (in this case, the author) when faced with a situation that requires them to "acclimatize." How do they feel, and what are their hopes and aspirations in the new environment?

Example 2: "sakral-kakus-urat" signifies adapting to a new culture, which opens our eyes to the fact that each culture has differences in what they consider sacred, something that is sacred in one culture may not be so in another. It also highlights the differences between squat toilets and sit-down toilets. Sometimes, culture has become our "vein," making it difficult for us to change. But is it really so?

Example 3: "als" (Indonesian: daripada) from this single word, we can build a narrative about the process of acculturation, which inevitably involves comparison. In the process of acculturation, we will encounter various things that are different from what we experienced before.

The words are intentionally written randomly and scattered, like the concept of mushrooms that can grow spread out. These words only use the letters from A-K-K-U-L-T-U-R-A-S-A, which is also a concept of mushrooms that utilize what exists to be reborn into something new. All letters are written in lowercase because the author finds it more aesthetically pleasing and to break free from grammatical rules.

The words are categorized into yellow, green, pink, and indigo. Yellow words are those that are most dear to the author and are intentionally placed in the center of the "akkulturasa" circle. Pink words are the author's second favorite, green is for words that are neutral to the author, and indigo is for words that the author dislikes. The size of the letters also determines the author's feelings towards the word; larger letters have a stronger emotional connection than smaller ones. This is, of course, subjective and part of the author's personal expression.

This accompanying text is provided to give readers an idea of the author's concept or idea. However, readers have the freedom to interpret, respond to, or even deconstruct it as broadly as they wish.

Enjoy your journey through letters and meanings...


 DE


Dieses Gedicht wurde als Reaktion auf das Thema der "Akkulturasa"-Installation verfasst.

Dieses Gedicht ist ein Versuch, die herkömmliche Form von Poesie zu dekonstruieren, indem mit Worten, Buchstaben und Bedeutungen gespielt wird. Indem nur die Buchstaben in A-K-K-U-L-T-U-R-A-S-A verwendet werden, stellt der Autor verschiedene andere Wörter zusammen (einige aus dem Deutschen und Englischen), um eine neue Erzählung zu erstellen. Diese Erzählung kann mit dem Thema/Konzept von Akkulturasa in Verbindung gebracht werden. Die Leser können ein oder mehrere Wörter zufällig auswählen, um eine neue Erzählung zu erstellen oder sie in diesem Fall an den Kontext von Akkulturasa anzupassen.

Dieser Dekonstruktionsprozess ist auch Teil des Akkulturasa-Prozesses selbst, bei dem Veränderung/Anpassung unausweichlich wird, wenn Individuen und/oder ihre Kultur in einer neuen Umgebung sind.

Beispiel 1: Das Wort "aku-rasa-asa" kann als die Gefühle eines Individuums (in diesem Fall des Autors) in einer Situation narrativ sein, die sie zur "Akklimatisierung" zwingt. Wie fühlen sie sich, und was sind ihre Hoffnungen und Wünsche in der neuen Umgebung?

Beispiel 2: "sakral-kakus-urat" steht für die Anpassung an eine neue Kultur, die unsere Augen dafür öffnet, dass jede Kultur Unterschiede in dem hat, was sie als heilig betrachtet. Etwas, das in einer Kultur als heilig gilt, ist in einer anderen möglicherweise nicht so. Es hebt auch die Unterschiede zwischen Hocktoiletten und Sitztoiletten hervor. Manchmal ist Kultur bereits unsere "Ader", was es uns schwer macht, sie zu ändern. Aber ist das wirklich so?

Beispiel 3: "als" (Indonesisch: daripada) aus diesem einzelnen Wort können wir eine Erzählung über den Prozess der Akkulturation erstellen, der zwangsläufig den Vergleich beinhaltet. Im Akkulturationsprozess werden wir auf verschiedene Dinge stoßen, die sich von dem unterscheiden, was wir zuvor erlebt haben.

Die Worte sind absichtlich zufällig und verstreut geschrieben, wie das Konzept von Pilzen, die sich ausgebreitet wachsen können. Diese Wörter verwenden nur die Buchstaben von A-K-K-U-L-T-U-R-A-S-A, was auch ein Konzept von Pilzen ist, die das vorhandene nutzen, um in etwas Neues geboren zu werden. Alle Buchstaben sind in Kleinbuchstaben geschrieben, weil der Autor es ästhetisch ansprechender findet und um sich von grammatischen Regeln zu lösen.

Die Wörter sind in Gelb, Grün, Pink und Indigo kategorisiert. Gelbe Wörter sind diejenigen, die dem Autor am meisten am Herzen liegen und werden absichtlich in die Mitte des Kreises "Akkulturasa" gelegt. Pink sind die zweitliebsten Wörter des Autors, Grün steht für Wörter, die dem Autor neutral gegenüberstehen, und Indigo steht für Wörter, die der Autor nicht mag. Die Buchstabengröße bestimmt auch die Gefühle des Autors gegenüber dem Wort; größere Buchstaben haben eine stärkere emotionale Verbindung als kleinere. Dies ist natürlich subjektiv und Teil des persönlichen Ausdrucks des Autors.

Dieser begleitende Text soll den Lesern eine Vorstellung vom Konzept oder der Idee des Autors vermitteln. Die Leser haben jedoch die Freiheit, ihn so breit zu interpretieren, wie sie möchten, darauf zu reagieren oder ihn sogar zu dekonstruieren.

Genießen Sie Ihre Reise durch Buchstaben und Bedeutungen...